Mungkin karena bertepatan dengan bulan suci ramadhan, peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2010 ini tidaklah sesemarak tahun-tahun sebelumnya. Hampir disemua tempat tidak ditemukan kegiatan yang menjadi trademark agustusan, seperti lomba-lomba yang melibatkan anak-anak. Bahkan anehnya, tak ada satupun gapura dipintu jalan yang dihiasi pernak-pernik kertas, maupun bentangan bendera kecil yang memanjang dari satu gang ke gang lainya.
Terlalu naif memang, jika sepinya hari bersejarah ini dihubungkan dengan berlangsungnya umat muslim sedang menjalankan ibadah puasa. Bukankah hari kemerdekaan itu dibacakan sang proklamator bertepatan dengan bulan ramadhan juga.
Artinya, kita haruslah berani mengatakan dengan penuh kejujuran bahwa hari yang bersejarah 65 tahun lalu itu, sudah tidak memiliki tempat lagi dihati kita masing-masing. Kalaupun bendera merah putih terpasang di perkantoran, atau pelaksanaan upacara yang dilaksanakan oleh masing-masing intansi, tentunya tak lebih dari sebuah agenda seremonial saja. Dan, kita tak perlu malu untuk mengatakan sepulangnya mengikuti upacara tersebut kita sudah tidak mengingat lagi apa yang telah kita laksanakan.
Rasanya tidak berlebihan, jika peringatan hari kemerdekaan negeri Indonesia tercinta ini benar-benar telah kehilangan ruhnya. Tak ada getaran apapun tatkala kita menemui moment hari yang tidak mudah diraih kala itu. Inilah yang disebut ancaman bahaya latin yang datangnya dari kita sendiri. Suatu bentuk kehancuran negara tanpa melalui serangan kelompok tertentu, tetapi oleh sebuah virus hilangnya rasa nasionalisme yang menggerogoti selurah jiwa bangsa ini.
Kita memang dihadapkan oleh kehidupan yang serba kompleks. Semua berlomba untuk mempertahankan hidup, sehingga kita pun tak sempat menempatkan peran sebagai pengemban estapet para kreator negri. Pengusaha sibuk dengan pengembangan usahanya, para politisi sibuk dengan kepentingannya, petani sibuk dengan ladangnya, pegawai sibuk dengan kenaikan pangkatnya, dan pendidik sibuk dengan sertifikasinya.
Tak Terdengar lagi Cerita Bambu Runcing..!!
Apresiasi memperingati hari kemerdekaan jaman dulu memang berbeda. Nuansa perjuangan kemerdekaan begitu kental disetiap daerah. Mulai dari karnaval, lomba-lomba, apresiasi seni atau panggung hiburan kerap menjadi bagian agustusan. Kebersamaan dibangun dengan semangat kuat. Sekedar contoh saja, saat membuat panggung hiburan, masyarakat berjibaku mengumpulkan bambu dan drum untuk merancang panggung tersebut. Sajian yang dipertontonkan pun sebuah drama perjuangan hasil karya mereka. Cukup dengan lampu obor atau petromak untuk penerangan, masyarakat begitu menikmati di pesta peringatan kemerdekaan itu.
Bandingkan dengan kondisi sekarang. Dari kebutuhan biaya saja, cukup melayangkan sebuah proposal ke beberapa pengusaha atau intansi. Bahkan, hampir menjadi pemandangan di jalan dengan meminta uang ke setiap pengendara bermotor yang melintas. Membuat panggung pun tak perlu repot mengambil bambu di kebun atau meminjam drum ke warung-warung warga yang menjual minyak tanah. Seperangkat alat panggung dan tenda telah tersedia ditempat penyewaan. Tanpa maksud mengurangi rasa semangat para generasi jaman sekarang. Kehidupan yang serba instans memang telah menjadi bagian jaman ini. Dalam memperingati hari kemerdekaan sudah tidak ada cerita lagi tentang bambu runcing, tentang drama yang mengisahkan perjuangan Mohamad Toha, RA Kartini, Pangeran Dipenogoro, atau pejuang lainnya. Kini lebih memilih hiburan musik yang didatangkan dari luar dan mereka hanya sebagai penonton.
Kita tak perlu memandangnya sebuah idealisme, tetapi kita tentunya rindu akan cerita-cerita orang tua kita dahulu, rindu akan nyanyian perjuangan, rindu dengan cerita bambu runcing yang terbalut merah putih. Tentunya kita pun akan lebih bangga lagi, tatkala anak-anak kita yang memainkan drama mengisahkan perjuangan diatas panggung, menyanyikan lagu sepasang mata bola, selendang sutra, tiga malam, ataupun semalam di Cianjur.
Tahun depan, jika Allah SWT masih memberikan kesempatan kita hidup, tak ada salahnya kita melanjutkan kembali menjadi tokoh estapet dari sebuah hari kemerdekaan. Anggap saja, hari ini dan kemarin kita tertidur dan terlalu asyik menikmati kemerdekaan ini, sehingga kita lupa telah diberikan sebuah amanah.”Kemerdekaan ini diperoleh bukanlah dari sebuah hadiah, tetapi merupakan hasil dari perjuangan”.
Salam untuk Negeri Tercinta
Tata E. Ansorie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar